Sleman – Budidaya cacing sutra merupakan peluang bisnis yang
begitu menjanjikan. Potensi bisnis yang besar ini telah dibuktikan
langsung oleh anggota Asosiasi Cacing Sutra Yogyakarta (ACY). Bahkan,
dibanding dengan menanam padi, misalnya, budidaya cacing sutra jauh
lebih menguntungkan. Kalau produktivitasnya lagi bagus, ACY bisa
produksi cacing sutra sebanyak 50 liter per hari.
“Dibandingkan dengan pertanian, ini akan jauh lebih baik dari
pertanian seperti padi. Per hari kalau lagi prima pendapatan bisa dapat
Rp 750 ribu. Kalau sedang kondisi surut bisa Rp 300 ribu per hari,” ujar
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan
Slamet Soebjakto dalam kunjungan kerja di Dusun Gancahan VII, Desa
Sidomulyo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Rabu (23/7).
Kalau dihitung berdasarkan pendapatan harian tersebut, maka dalam
sebulan asosiasi yang punya lahan satu hektar itu bisa mengantongi Rp
22, 5 juta. Jika dikalikan 12 bulan alias setahun, pendapatan mereka
bisa mencapai Rp 270 juta. Angka ini tentu sangat jauh dari pendapatan
petani padi yang berkisar Rp 90 jutaan dalam setahun.
Namun demikian, Slamet menjelaskan, budidaya cacing sutra di wilayah
DIY ini belum bisa memenuhi permintaan pasar yang sangat besar, terutama
dari pelaku usaha perbenihan ikan. Apalagi, budidaya cacing sutra masih
sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan dan kekeringan atau musim
kemarau.
“Kendalanya alam. Karena banjir, kekeringan, itu juga kendala. Itu
yang membuat produksinya belum stabil. Sehingga saya melihat ini adalah
salah satu upaya untuk secara berkelompok untuk mensuplai UPR (unit
pembenihan rakyat), pembenihan air tawar,” jelas Dirjen Slamet.
Modal dari usaha budidaya cacing sutra ini pun sangat simpel. Hanya
butuh lahan, aliran air dan pupuk fermentasi sebagai pakan. Namun,
karena faktor alam tadi, produktivitas cacing sutra terbilang
fluktuatif. “Makanya kita mencari teknologi, dari sirkulasi, dan
lainnya. Kalau kita lihat, ini kan sumber air, kalau dimanfaatkan, luar
biasa. Ini kan nutriennya terbuang, sehingga perlu ada satu tandon yang
dikumpulkan dan ditarik lagi ke atas. Ini mungkin bisa menggunakan
plastik. Kalau resirkulasi, terbuang juga berapa persen melalui
rembesan,” ungkapnya.
Budidaya cacing sutra yang begitu menjanjikan ini, sambung Slamet,
memang belum tersentuh teknologi. “Jadi ini sebetulnya belum tersentuh
dengan teknologi. Ini sebenarnya peluang dari para perekayasa, peneliti,
pembudidaya cacing ini untuk memenuhi kebutuhan pembenihan. Ini bisnis
baru yang bisa dilakukan,” imbuh Dirjen Slamet.
Cacing sutra, sebagaimana pakan pelet, merupakan kebutuhan utama
dalam industri perikanan budidaya. Biaya pembelian cacing bagi para
pembenih ikan bahkan bisa mencapai 60% dari total biaya produksi. “Belum
ada teknologi terapan yang bagus. Memang sudah dilakukan rekayasa dan
teknologi. Masih mencari tempat yang ideal. Bagaimana tempatnya tidak
bau, bagaimana sirkulasi air bisa digunakan lagi. Karena air yang
terbuang pun masih mengandung nutrien,” kata Slamet.
Dijelaskan Slamet, cacing sutera adalah pakan alami yang paling
banyak digunakan oleh pembenih sekaligus merupakan komoditas yang paling
di cari oleh pembenih. Kebutuhan yang tinggi akan cacing sutera ini
terkadang menemui kendala apabila datang musim hujan sehingga pasokan
dari alam berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali. ACY sendiri
memasok kebutuhan cacing sutera di unit pembenihan lele, sidat, patin
dan gurame.
Kepada wartawan, dalam kesempatan itu, Ketua ACY, Suhardi mengatakan,
produktivitas cacing sutra di tempatnya memang terkendala oleh
lingkungan dan alam. Pasokan air masih menjadi kendala, apalagi di musim
tanam padi seperti saat ini, karena petani sedang giat-giatnya
memanfaatkan air. Sementara jika menggunakan pompa, biaya produksi
cacing sutra akan membengkak. Namun demikian, dia percaya ke depan
produktivitas cacing sutra akan lebih baik, asal pakan berupa fermentasi
dan air mencukupi.
Dalam catatan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, budidaya cacing
sutra merupakan inovas budidaya cacing sutera yang telah dikembangkan
di beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB)
di Sukabumi, Tatelu dan Jambi. Inovasi ini merupakan terobosan yang
dikembangkan untuk mengatasi keterbatasaan ketersediaan cacing sutera
dari alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar